Situasi politik di Rivers State, Nigeria, tengah memanas setelah pemerintah pusat mendeklarasikan TRISULA88 ALTERNATIF status darurat dan menangguhkan Gubernur Siminalayi Fubara beserta wakilnya, Ngozi Odu. Kebijakan ini memicu gelombang protes besar-besaran, terutama dari kelompok perempuan yang menuntut pemulihan demokrasi dan menolak keras intervensi pemerintah pusat yang dianggap inkonstitusional.
Latar Belakang Krisis Politik Rivers State
Pada 18 Maret 2025, Presiden Bola Tinubu mendeklarasikan status darurat di Rivers State dengan alasan krisis politik yang berkepanjangan. Gubernur Fubara, wakil gubernur, dan seluruh anggota dewan negara bagian diskors selama enam bulan. Sebagai gantinya, Ibok-Ete Ibas, seorang purnawirawan kepala angkatan laut, ditunjuk sebagai administrator tunggal negara bagian tersebut7.
Kebijakan ini segera menuai kecaman dari masyarakat sipil, terutama kelompok perempuan yang merasa hak-hak demokratis mereka dirampas. Mereka menilai penunjukan administrator tunggal dan pemberlakuan status darurat sebagai bentuk pemerintahan militer terselubung yang mengancam tatanan demokrasi di Rivers State257.
Gelombang Protes Wanita: Tuntutan dan Aspirasi
Sejak pertengahan April 2025, ribuan perempuan dari berbagai daerah di Rivers State turun ke jalan, memadati kawasan strategis seperti Aba Road dan kantor pemerintah negara bagian di Port Harcourt. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Bring Back Fubara”, “Save Our Democracy”, dan “Obey the Rule of Law” sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan darurat dan desakan agar Gubernur Fubara dikembalikan ke jabatannya27.
Dalam setiap aksinya, para perempuan ini menegaskan bahwa mereka adalah ibu, istri, dan tulang punggung keluarga yang menanggung dampak langsung dari ketidakstabilan politik dan ekonomi akibat status darurat. Mereka menyatakan bahwa demokrasi di Rivers State harus dipulihkan, dan seluruh institusi demokratis harus segera diaktifkan kembali257.
Penolakan Terhadap Kebijakan Darurat dan Tuntutan Konkret
Kelompok perempuan seperti Rivers Women Unite Prayer Group secara terbuka menyatakan bahwa status darurat dan penunjukan administrator tunggal adalah tindakan ilegal dan tidak konstitusional. Mereka juga menuntut pencopotan Komisaris Polisi Rivers State, Olugbenga Adepoju, karena dianggap melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap demonstran perempuan yang melakukan aksi damai59.
Dalam pernyataan resminya, kelompok ini menyoroti bahwa kebijakan darurat telah memperburuk kondisi ekonomi, menyebabkan penutupan bisnis, relokasi investasi, dan menurunkan kesejahteraan masyarakat. Perempuan dan anak-anak menjadi kelompok paling terdampak atas krisis ini, baik secara sosial maupun ekonomi5.
Solidaritas dan Seruan Nasional
Aksi protes ini tidak hanya menjadi simbol perlawanan perempuan terhadap kebijakan otoriter, tetapi juga menjadi seruan nasional kepada tokoh-tokoh penting, termasuk mantan presiden Nigeria, untuk turun tangan memulihkan demokrasi di Rivers State7. Para perempuan ini menegaskan bahwa suara rakyat tidak boleh dibungkam dan meminta seluruh elemen masyarakat, termasuk parlemen dan organisasi masyarakat sipil, untuk mendesak pencabutan status darurat.
Dinamika Pro dan Kontra
Menariknya, di tengah gelombang protes yang menuntut pemulihan demokrasi, muncul pula kelompok yang mengklaim mendukung kebijakan darurat pemerintah pusat. Namun, kelompok perempuan penolak darurat menyebut bahwa aksi pro-darurat tersebut diduga merupakan rekayasa dan tidak mewakili suara mayoritas masyarakat Rivers State45.
Kesimpulan
Protes perempuan di Rivers State menjadi penanda pentingnya peran perempuan dalam menjaga demokrasi dan menolak segala bentuk penindasan politik. Dengan tuntutan yang jelas—pemulihan pemerintahan demokratis, pengakhiran status darurat, dan perlindungan hak-hak sipil—mereka menunjukkan bahwa perempuan bukan sekadar korban, tetapi juga agen perubahan dalam menghadapi krisis politik di Nigeria.