Menyesap Roma Pagi: Sebuah Petualangan Cappuccino di Tengah Kesengsaraan
Bangun pagi di Roma itu, ya ampun, rasanya kayak dikutuk sekaligus diberkahi. Dikutuk karena jam weker serasa musuh bebuyutan yang terus-terusan mengganggu mimpi indah. Diberkahi karena begitu mata terbuka, aroma kopi dari kedai di seberang jalan sudah melambai-lambai, seakan memanggil-manggil.
Pagi itu, saya memutuskan untuk mengabaikan bisikan bantal untuk melanjutkan hibernasi. Misi utama: menemukan kenikmatan sejati di balik secangkir cappuccino. Bukan cappuccino ala kafe modern yang hiasannya kayak lukisan abstrak dan harganya bikin dompet menangis. Saya ingin yang otentik. Yang disajikan oleh kakek-kakek Italia berambut putih yang suaranya serak-serak basah, dengan gerakan tangan secepat kilat saat meracik kopi.
Dengan langkah gontai, saya menyusuri gang-gang sempit di Trastevere, mencari kafe yang tidak terlalu ramai turis. Setelah beberapa belokan, hidung saya seperti pemandu wisata andal, mengarahkan ke sebuah kafe kecil bernama “Il Caffè del Nonno”. Dari luar, tempat itu tampak sederhana. Meja-meja kayu yang sudah usang, kursi-kursi yang warnanya tidak seragam, dan di dalam, beberapa orang lokal sedang asyik berbincang, entah membicarakan apa, yang jelas isinya serius sekali, bahkan ada yang sampai berdebat sambil tangan ikut menari-nari.
Sebuah Ritual Pagi yang Suci
Begitu masuk, suasana hangat langsung menyelimuti. Bukan karena pendingin ruangan yang dimatikan, melainkan karena getaran dari orang-orang yang ada di sana. Saya mendekati konter dan langsung disambut oleh tatapan ramah dari seorang nonno (kakek) yang berdiri di belakang mesin kopi raksasa.
“Buongiorno!” sapanya, dengan senyum yang menampakkan keriput di sudut matanya.
“Buongiorno, un cappuccino per favore,” jawab saya, berusaha terdengar seperti orang lokal. Padahal, saya tahu, logat saya masih kental dengan aroma nasi padang.
Tanpa banyak bicara, nonno itu mulai beraksi. Tangan kanannya mengambil cangkir, tangan kirinya mengambil bubuk kopi. Gerakannya presisi, seolah sudah dilatih ribuan tahun. Uap dari mesin kopi mengepul, mengeluarkan suara desis yang seperti musik orkestra bagi telinga saya. Sambil menunggu, saya memperhatikan sekeliling. Beberapa pria paruh baya sedang membaca koran, sesekali menyeruput kopi mereka. Di sudut lain, dua wanita tua sedang menggosipkan sesuatu sambil tertawa kecil.
Kenikmatan yang Tak Tertandingi
Akhirnya, cangkir cappuccino saya sudah di depan mata. Bukan, bukan di depan mata. Lebih tepatnya, disodorkan dengan dramatis oleh si nonno. Busanya tebal, padat, dan warnanya putih bersih. Aromanya… ah, seperti pelukan hangat dari seorang ibu. Tanpa berpikir panjang, saya menyeruputnya.
Sensasinya luar biasa. Paduan pahitnya kopi yang kuat dengan lembutnya susu yang manis, menciptakan harmoni yang sempurna. Hangatnya https://www.zeuswinehouse.com/ menjalar dari tenggorokan hingga ke ujung jari kaki. Saya tidak menyangka, kenikmatan sederhana ini bisa mengalahkan makan siang mahal di restoran bintang lima.
Saya menghabiskan cappuccino saya sambil berdiri di konter, seperti orang Italia sejati. Mengamati lalu lalang di luar kafe, mendengar celetukan-celetukan yang tidak saya mengerti, dan merasakan bahwa saya adalah bagian dari mereka, setidaknya untuk beberapa menit.
Momen itu membuat saya sadar. Bahwa kehangatan yang saya cari di kota ini bukan hanya berasal dari matahari atau suhu udara. Ia datang dari hal-hal kecil, seperti senyuman tulus seorang nonno, tawa lepas para wanita, dan tentu saja, dari suasana hangat cappuccino pagi yang tak akan pernah saya lupakan.
Sebelum pergi, saya memberikan uang sambil mengucapkan “Grazie mille!”. Nonno itu hanya mengangguk, senyumnya tidak pudar. Saya keluar dari kafe dengan hati yang ringan dan perut yang hangat. Mengawali pagi di Roma dengan ritual cappuccino otentik ini bukan hanya mengisi energi, tapi juga mengisi jiwa. Dan bagi saya, itulah esensi dari perjalanan. Sederhana, hangat, dan tak terlupakan.