Retrospeksi: Rekam Jejak Ekonomi Zambia di Bawah Kepemimpinan Edgar Lungu

Retrospeksi: Rekam Jejak Ekonomi Zambia di Bawah Kepemimpinan Edgar Lungu

Edgar Lungu, yang menjabat sebagai Presiden Zambia dari 2015 hingga 2021, memimpin negara ini pada periode yang penuh tantangan ekonomi. Selama masa kepemimpinannya, Zambia menghadapi sejumlah masalah struktural yang memengaruhi perekonomian, seperti ketergantungan pada ekspor tembaga, fluktuasi harga komoditas global, dan ketidakstabilan fiskal. Lungu mengambil alih setelah presiden sebelumnya, Michael Sata, meninggal dunia pada 2014, dan berhasil terpilih kembali pada 2016. Meskipun Lungu dikenal karena kebijakan yang cenderung pro-investasi, ekonomi Zambia selama masa pemerintahannya dapat dikatakan mengalami pasang surut. edgar-lungu.com

1. Ketergantungan pada Tembaga dan Fluktuasi Harga Global

Zambia memiliki cadangan tembaga terbesar di Afrika, yang berkontribusi besar terhadap perekonomian negara ini. Ketergantungan pada tembaga menjadikan Zambia sangat rentan terhadap fluktuasi harga tembaga global. Selama masa kepemimpinan Lungu, harga tembaga mengalami pasang surut yang signifikan, yang langsung mempengaruhi pendapatan negara dan kinerja sektor industri. Meski pemerintah mencoba mendorong diversifikasi ekonomi, ketergantungan pada komoditas ini tetap menjadi masalah utama.

Pada awal masa pemerintahannya, Lungu menyaksikan lonjakan harga tembaga yang memberi harapan positif terhadap pertumbuhan ekonomi Zambia. Namun, harga tembaga mulai turun setelah 2015, yang menyebabkan kesulitan bagi banyak perusahaan tambang dan penurunan pendapatan negara. Keterbatasan dalam upaya untuk beralih dari ketergantungan terhadap sektor tambang menciptakan tantangan besar bagi ekonomi yang lebih luas.

2. Utang dan Krisis Fiskal

Salah satu tantangan paling besar yang dihadapi Lungu adalah krisis utang yang terus memburuk selama masa pemerintahannya. Untuk mendanai berbagai proyek infrastruktur dan program pembangunan lainnya, Zambia meminjam secara besar-besaran dari kreditur internasional, termasuk bank-bank China dan institusi keuangan internasional. Meskipun pembangunan infrastruktur menjadi salah satu prioritas pemerintahannya, utang luar negeri Zambia melonjak, dan pada 2020, negara ini terpaksa mengumumkan gagal bayar utang yang membuatnya menjadi negara pertama di Afrika Sub-Sahara yang melakukan restrukturisasi utang dalam beberapa dekade terakhir.

Peningkatan utang ini tidak hanya membebani anggaran negara tetapi juga merugikan ekonomi karena meningkatnya beban bunga utang yang harus dibayar. Pada saat yang sama, pengeluaran pemerintah yang besar untuk infrastruktur tidak selalu diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang memadai, sehingga menyebabkan ketidakstabilan dalam perekonomian.

3. Tantangan Sosial dan Pengangguran

Perekonomian Zambia juga dihantam oleh masalah sosial yang mendalam, termasuk tingkat pengangguran yang tinggi, ketimpangan ekonomi, dan kemiskinan yang meluas. Meskipun pemerintahan Lungu berusaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan melalui program pembangunan infrastruktur dan industri, tingkat pengangguran tetap tinggi, terutama di kalangan pemuda. Ini terjadi sebagian besar karena kurangnya pelatihan keterampilan yang memadai dan ketidakmampuan sektor industri lainnya untuk berkembang dengan pesat.

Selain itu, meskipun Zambia memiliki potensi besar dalam sektor pertanian dan pariwisata, pengembangan sektor-sektor ini masih terhambat oleh masalah birokrasi, kurangnya investasi, dan infrastruktur yang terbatas. Sektor pertanian, yang sebagian besar dikuasai oleh petani kecil, tetap tidak efisien dan rentan terhadap perubahan iklim.

4. Kebijakan Ekonomi dan Investasi Infrastruktur

Lungu mendorong kebijakan pro-investasi yang bertujuan menarik investor asing ke Zambia, terutama di sektor pertambangan dan infrastruktur. Pemerintah Zambia berfokus pada pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas energi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, meskipun infrastruktur baru dibangun, banyak kritikus yang berpendapat bahwa proyek-proyek tersebut lebih banyak menguntungkan perusahaan asing daripada rakyat Zambia sendiri.

Kebijakan pro-investasi yang agresif juga berisiko meningkatkan ketergantungan pada kredit luar negeri dan meningkatkan utang publik. Investasi yang tidak terkelola dengan baik dan terbatasnya pengawasan terhadap proyek-proyek infrastruktur seringkali memunculkan masalah korupsi dan ketidaksesuaian antara tujuan pembangunan dan dampak nyata yang dirasakan oleh masyarakat.

5. Pandemi COVID-19 dan Dampaknya

Pada tahun 2020, Zambia, seperti banyak negara lainnya, terhantam oleh pandemi COVID-19, yang semakin memperburuk situasi ekonomi. Pandemi ini memperburuk krisis utang, mengganggu sektor perdagangan, dan menurunkan pendapatan negara secara signifikan. Selain itu, krisis kesehatan ini juga memperburuk masalah kemiskinan dan pengangguran yang telah ada sebelumnya, karena banyak usaha kecil dan menengah yang tutup akibat lockdown dan pembatasan sosial.

6. Penurunan Popularitas dan Warisan Lungu

Di akhir masa kepemimpinannya, Lungu menghadapi penurunan popularitas, yang sebagian besar disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap pengelolaan ekonomi, utang yang membengkak, dan ketimpangan sosial yang terus berlanjut. Pada 2021, setelah serangkaian kontroversi terkait pemilihan umum dan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan, Lungu gagal mempertahankan jabatannya, dan Hakainde Hichilema terpilih sebagai presiden baru. Meskipun demikian, warisan ekonomi Lungu tetap terkatakan sebagai masa yang penuh tantangan bagi Zambia, dengan perekonomian yang berjuang untuk mencapai keseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan.

Secara keseluruhan, meskipun ada beberapa upaya untuk memodernisasi dan membangun infrastruktur, kepemimpinan Lungu ditandai dengan peningkatan ketergantungan pada utang, pengelolaan ekonomi yang tidak selalu efektif, dan masalah sosial yang belum teratasi dengan baik. Namun, dampak dari kebijakan ekonomi yang diluncurkan pada masa pemerintahannya tetap menjadi bagian dari cerita panjang perjalanan ekonomi Zambia.